KOMUNITAS
Muslim di Kabupaten Karangasem yang berlokasi di ujung timur Bali, telah
berkembang sejak jaman pemerintahan Raja Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem.
Nyama selam (saudara Islam), begitu orang Bali biasa menyebut, memiliki ikatan
tali sejarah yang erat dengan Puri Karangasem dan telah lama hidup berdampingan
secara rukun dengan umat Hindu.
Peristiwa
itu bermula setelah laskar Karangasem dibawah pimpinan Anak Agung Anglurah
Ketut Karangasem berhasil mengalahkan dan menduduki Kerajaan Selaparang dan
Pejanggi di Lombok pada tahun 1692. Sejak itu, raja membina hubungan baik
dengan umat Muslim di Lombok. Seiring waktu, terjadi migrasi umat Muslim dari
Lombok ke Karangasem. Begitu pula sebaliknya.
Bahkan,
salah satu keturunan Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem yang menjadi raja di
Lombok, yakni Anak Agung Anglurah Gede Ngurah Karangasem, memperistri keturunan
Datu Selaparang, Denda Fatimah, yang kemudian berganti nama menjadi Denda
Nawangsasih. Selain membangun Taman Narmada dan Taman Mayura di Lombok,
Anglurah Gede Ngurah juga sangat memerhatikan kehidupan umat Muslim. Salah
satunya dengan cara membuat perwakilan di Jeddah yang dipimpin oleh Haji Majid,
untuk mempermudah umat Muslim di Lombok dan Karangasem menunaikan Ibadah Haji.
Ketika Belanda ingin menguasai Lombok, Anglurah Gede Ngurah diasingkan ke
Batavia (Jakarta) pada tahun 1894, hingga wafat setahun kemudian.
Salah satu
bukti kedatangan umat Muslim pertama di Karangasem adalah sebuah makam kuno
yang terdapat di dekat Pantai Ujung, Karangasem. Ada dua versi yang beredar
tentang kisah makam tersebut. Yang pertama, konon makam itu adalah makam Raja
Pejanggi yang ditawan Raja Karangasem hingga meninggal. Yang kedua mengisahkan
itu makam Ratu Mas Pakel, atau lebih dikenal dengan nama Sunan Mumbul, orang
kesayangan Raja Karangasem, yang dibunuh di Pantai Ujung ketika akan kembali ke
Lombok. Konon, dia dibunuh oleh orang-orang yang tidak suka melihat kedekatan
Raja Karangasem dengan umat Muslim.
Sejarah
keberadaan makam itu memang masih simpang siur. Namun, yang pasti, makam itu
sangat dihormati oleh umat Muslim di Karangasem, dan dianggap sebagai makam
leluhur mereka. Muda Wijaya, yang berasal dari Kecicang, menuturkan bahwa lima
belas hari setelah Lebaran, umat Islam di Karangasem biasanya ziarah ke makam
kuno tersebut.
Pada jaman
kerajaan, banyak orang dari komunitas Islam di Karangasem yang diangkat menjadi
laskar, bahkan punggawa. Itulah sebabnya kampung atau pusat-pusat komunitas
Islam di Karangasem tersebar secara strategis membentuk semacam benteng
pertahanan untuk keamanan Puri Karangasem. Pada lapisan pertama, sebagai
pertahanan di bagian selatan, terdapat kampung Ujung Pesisir, Ujung Sumbawa,
Ujung Desa, Segara Katon, Dangin Sema. Dari Pantai Ujung hingga ke sebelah
timur dan utara puri, terdapat kampung Nyuling, Tihing Jangkrik, Kampung Anyar,
Karang Sasak, Tibulaka, Bukit Tabuan, dan Karang Cermen. Di bagian barat ada
kampung Bangras, Karang Langko, Karang Tohpati, Kampung Ampel, Grembeng, Karang
Tebu, Juwuk Manis.
Sebagai
lapisan kedua, di sebelah barat adalah Subagan (termasuk Karang Sokong), Tegala
Mas, Kecicang, Kedokan, hingga Saren Jawa dan Sindu (di Kecamatan Sidemen).
Komunitas Islam di Saren Jawa konon tidak berasal dari Lombok, melainkan dari
Jawa (Majapahit) yang telah berkembang sejak Bali diperintah oleh Raja Dalem
Waturenggong yang beristana di Klungkung. Kisah Saren Jawa bermula dari jasa
besar seorang utusan dari Jawa yang bernama Raden Kyai Jalil. Dia berhasil
membunuh seekor wadak (sapi besar) yang membuat kekacauan di sebuah komunitas
Muslim di wilayah Kerajaan Karangasem. Lokasi terbunuhnya sapi itu disebut sare
yang artinya tidur. Karena yang berhasil membunuh sapi itu adalah orang Jawa
maka lokasi itu disebut Saren Jawa.
Sedangkan di
Kecamatan Manggis, terdapat Kampung Buitan sebagai pertahanan di bagian paling
barat, yang juga berkaitan dengan pertahanan di bidang perdagangan dan
pelayaran. Pada jaman kerajaan, Buitan pernah menjadi daerah pelabuhan dan
bandar perdagangan.
Berdasarkan
data dari berbagai sumber, pada jaman kerajaan, sejumlah mubaliq (pengajar/ahli
agama Islam) juga pernah datang ke Karangasem. Di antaranya adalah Sayid Hassan
Al Idrus yang menetap di Telaga Mas (Subagan), Sayid Syeh Almulah Hela yang
tinggal di Karang Langko. Sementara itu, Abdullah Bin Salom Bagarib (dari Arab
Selatan) diperkirakan datang ke Karangasem pada tahun 1859.
Selain
mengajarkan agama, orang Islam datang ke Karangasem juga untuk tujuan
berdagang, salah satunya adalah Fidahussin Jiwakhanji dari Ujoin, India Tengah,
yang datang sekitar tahun 1916. Kemudian, pada tahun 1918, datang keluarga
Jiwajirasulji dari Mandar Rajastan, India Utara. Pada tahun 1920 datang Ali
Husein Rasul Bhay dari Ujoin, India Tengah. Dan, sekitar tahun 1930 keluarga
Fiddahusein Hasan Bhay datang ke Karangasem. Hingga kini keturunan mereka masih
menetap dan membuka toko di Kota Amlapura (Ibu Kota Karangasem), dan ada juga
yang menyebar ke Klungkung dan Denpasar.
Pada
masa-masa awal perkembangan Islam di Karangasem, pembangunan mesjid dan langgar
sering mendapat bantuan dari Puri Agung Karangasem, yang saat itu diperintah
oleh A.A. Agung Anglurah Ketut Karangasem sebagai stedehouder II yang diangkat
Belanda tahun 1908. Dia adalah dinasti keenam dari Anak Agung Anglurah Ketut
Karangasem yang memimpin penyerangan ke Lombok.
Pada jaman
kerajaan, hubungan kekerabatan Puri Karangasem dengan komunitas Muslim di
Karangasem sangat erat, dan penuh dengan solidaritas yang terbina sejak lama.
Pihak Puri sering membantu dana dan perbekalan umat Islam yang mau naik Haji.
Begitu pun pada saat hari-hari raya Islam, seperti Idul Adha, Idul Fitri, pihak
Puri juga turut aktif membantu, misalnya berupa hasil-hasil bumi dan hewan
kurban. Pihak Puri juga suka memberi hadiah tanah sebagai wakaf kepada
komunitas Islam yang dianggap berjasa kepada Puri. Misalnya, komunitas Islam di
Dangin Sema, Nyuling dan Subagan memiliki ikatan yang disebut pauman. Bila ada
upacara atau kegiatan di Puri, komunitas pauman turut terlibat membantu.
Bahkan,
hingga kini, Komunitas Islam di Kampung Anyak dan Bukit Tabuan memiliki tugas
turun temurun sebagai juru sapuh dan juru tabuh “bende” (gong kecil) pada saat
piodalan (upacara) di Pura Bukit yang disungsung keluarga Puri Karangasem. Pura
Bukit merupakan pura keramat dan bersejarah yang pernah menjadi titik
pemberangkatan laskar Karangasem saat menyerbu Lombok dengan dipandu ribuan
kupu-kupu kuning yang menyeberangi Selat Lombok. Bende yang pernah dipakai
genderang perang itu sangat sakral dan kini nyaris keropos dimakan usia. Setiap
piodalan, replika bende ditabuh oleh umat Islam sebagai simbolisasi kekerabatan
dengan Puri Karangasem.
Di
Karangasem, terdapat sejumlah kesenian bernuansa Islam. Misalnya, musik preret
dan rebana yang bisa ditemui di Nyuling, biasanya dipentaskan saat upacara
perkawinan. Kampung Dangin Sema terkenal dengan Wayang Sasak berlakon Menak
dengan dalang paling kondang Haji Kasim Ahmad. Selain itu, di Kecicang, Karang
Tohpati dan Bangras, bisa disaksikan tari rudat yang penuh gerak ketangkasan
dan keperwiraan dengan kostum ala prajurit. Sedangkan, di Subagan terdapat seni
pencak silat yang dikembangkan oleh Daeng Plele asal Bugis yang meninggal tahun
1936.
Di
Karangasem, umat Islam merayakan Lebaran dengan penuh suka cita dan rasa
kebersamaan yang tinggi. Menurut penuturan Ahmadi dari Kecicang, usai Sholat
Id, para ibu dan remaja putri akan membawa makanan, kue-kue dan buah-buahan ke
mesjid. Kemudian mereka menggelar acara megibung dengan penuh rasa syukur. “Setelah
itu dilanjutkan dengan acara bebas, seperti halal bi halal, melancong, dan
sebagainya,” ujar Ahmadi.
Megibung
merupakan tradisi makan bersama yang dipopulerkan oleh Anak Agung Anglurah
Ketut Karangasem ketika laskar Karangasem beristirahat setelah peperangan di
Lombok. Megibung penuh dengan aturan dan disiplin ketat yang mengarah kepada
semangat kebersamaan. Hingga kini megibung menjadi tradisi makan bersama yang
unik di Karangasem dan biasanya digelar berkaitan dengan kegiatan atau
perayaaan adat dan agama, baik oleh umat Hindu maupun Islam. Makanan dalam
acara megibung yang digelar oleh umat Islam di Karangasem tidak memakai daging
babi dan darah, meski masakannya kebanyakan bernuansa Bali, seperti lawar, sate
lilit, komoh.
Selain itu,
menurut penuturan Muda Wijaya, sebagian besar umat Islam di Kecicang juga masih
memegang teguh tradisi ziarah ke kuburan leluhur. Ada sebuah makam kuno di
Tohpati, Budakeling, Kecamatan Bebandem yang sering diziarahi oleh umat Islam
dari Kecicang dan sekitarnya saat Hari Raya Lebaran, yakni makam Tuan Guru
Balok Sakti. “Banyak yang meyakini itu makam leluhur umat Muslim di Kecicang,”
ujar Muda Wijaya.[ ]
suksme tu aji gung de sampun nulis babad singkat islam ring krngsm dumogi tu aji sehat lan sejahtera, dumogi kerukunan tetep erat
BalasHapussuksme tu aji gung de sampun nulis babad singkat islam ring krngsm dumogi tu aji sehat lan sejahtera, dumogi kerukunan tetep erat
BalasHapusHaturnuhun sejarah kerukunan beragama diKarangasem....semoga kerukunan tsb tetap terjaga selamanya... Astungkara tuaji....
BalasHapusSaya tertarik dengan cerita ini.krna sama seperti cerita kakek sayang tlah alm dan beliau cucu dr raja yg di buang di batavia.sekarang kuburannya ada di karet bivak. Dgn nama ratu a.anglurah gede ngurah karang asem.
BalasHapus